Postmodernisme
(Konsep pemikiran Jean Francouis Lyotard)
Abstrak
Lahirnya postmodernisme tidak dapat dilepaskan dari
adanya paham modernisme. Pandangan modernisme menganggap bahwa kebenaran ilmu
pengetahuan bersifat mutlak dan objektif, artinya tidak adanya nilai dari
manusia. Di sinilah lahir suatu paham baru yaitu postmodernisme yang salah satu
tokohnya bernama Jean Francouis Lyotard, postmodernisme merupakan kelanjutan
dan koreksi dari modernisme untuk memberikan suatu pemikiran baru dan solusi
dalam pandangannya terhadap ilmu pengetahuan. Penelitian ini merupakan penelitian
kepustakaan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
hermeneutika filosofis, dengan unsur-unsur: interpretasi, deskripsi, dan
komparasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagi postmodernisme, ilmu
pengetahuan tidaklah bersifat objektif tetapi subjektif dan interpretasi dari
manusia itu sendiri, sehingga kebenarannya adalah relatif. Postmodernisme tidak
lepas dengan adanya kelemahannya dan apakah relevan terhadap kehidupan masa
kini, maka terlepas dari itu postmodernisme menambah pembendaraan pengetahuan
yang dapat diterima keberadaannya.
Pendahuluan
Pendidikan adalah upaya pendewasaan peserta didik yang
dilakukan oleh guru-guru melalui bimbingan dan pergaulan. Kenyataan lapangan,
guru bertindak otoriter atau memaksa kehendaknya sendiri, memberi materi dengan
paksa dan menjejal peserta didik dengan kurikulum yang padat. Kemuakan peserta
didik dengan pemaksaan ini dapat dilihat dengan perilaku mereka, seperti banyak
bermain, tidak serius, dan ugal-ugalan.
Otak manusia bukanlah wadah yang dapat menampung
sesuatu, tetapi otak manusia lebih tepat seperti pot berisi bunga, ia
memerlukan perawatan dari pemilik, pagi dan sore perlu disirami air, pemberian
pupuk, dan sebagainya. Peserta didik bukanlah orang bodoh, di dalam otaknya
sudah ada pengetahuan, akan tetapi mereka belum mampu mengembangkan
pengetahuannya, dia memerlukan contoh dan bimbingan untuk berkembang. Filosof
Perancis bernama Rene De Cartes berkata Co gito ergo sum artinya “aku berpikir
bahwa aku ada.” Dengan demikian, masih banyak orang tidak mengetahui “siapakah
dirinya”, sehingga banyak orang berbuat dan bertindak di luar kemampuannya
lantaran dia tidak mengetahui tentang “konsep diri”. Kemampuan berpikir
seseorang merupakan hasil konstruksi individu dan pikiran seseorang bukan hasil
konstruksi orang lain.
Seseorang dapat menjadi pintar, berpengetahuan, kaya,
alim, dan menjadi gubernur tatkala proses kehidupannya menjadi pembelajaran
yang dapat mengkonstruksikan dirinya menjadi dirinya sendiri. Piaget (Gredler,
1991: 308-309) menyebutkan bahwa kecerdasan bukan sifat pribadi yang statis
yang dapat dinilai secara kuantitatif. Kebalikannya, kecerdasan itu suatu
proses yang terus berlangsung dan selalu berubah. Kecerdasan merupakan
mekanisme dengannya individu berinteraksi dengan lingkungan pada suatu waktu
tertentu dan suatu proses yang terus menerus membentuk dirinya sendiri.
Kecerdasan, sebagaimana halnya sistem biologi, mengambil hal-hal dasar tertentu
dari lingkungan dan membentuk struktur yang diperlukannya agar bisa berfungsi.
Seperti halnya, intelegensi selalu aktif dan dinamis, sebab ia mencari
penjelasan dan pengertian agar bisa membentuk dirinya sendiri dan juga
berfungsi secara efektif.
Hakikat pengetahuan menurut Piaget (1970; 1971) (dalam
Suparno, 1997: 18) mengatakan cukup lama diterima bahwa pengetahuan harus
merupakan representasi (gambaran atau ungkapan) kenyataan dunia yang terlepas
dari pengamatan (objektivisme). Pengetahuan dianggap sebagai kumpulan fakta.
Namun akhir-akhir ini, terlebih dalam bidang sains, diterima bahwa pengetahuan
tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Pengetahuan lebih
dianggap sebagai suatu proses pembentukan (konstruksi) yang terus menerus, terus
berkembang dan berubah. Konsep-konsep yang dulu dianggap sudah tetap dan kuat,
seperti Hukum Newton dalam ilmu fisika, ternyata harus diubah karena tidak
dapat lagi memberikan penjelasan yang memadai. Sejarah revolusi sains
menunjukkan perubahan konsep-konsep pengetahuan yang penting.
Semua pengetahuan adalah suatu konstruksi (bentukan)
dari kegiatan/tindakan seseorang. Pengetahuan ilmiah itu berevolusi, berubah
dari waktu ke waktu. Pemikiran ilmiah adalah sementara, tidak statis dan
merupakan proses. Pemikiran ilmiah merupakan proses konstruksi dan reorganisasi
yang terus menerus. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang ada di luar tetapi ada
dalam diri seseorang, Piaget (dalam Suparno, 1997: 38).
Selanjutnya, Lev Vygotsky (dalam Arends, 2008: 47)
percaya bahwa intelek berkembang ketika individu menghadapi pengalaman baru dan
membingungkan dan ketika mereka berusaha mengatasi diskrepansi yang timbul oleh
pengalaman-pengalaman ini. Dalam usaha menemukan pemahaman ini, individu
menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan sebelumnya dan mengkonstruksi
makna baru.
Diperkuat oleh Wadsworth dan Althouse (dalam Suparno,
1997: 40) bahwa pengetahuan ini muncul dalam kebudayaan tertentu maka dapat
berbeda antar kelompok yang satu dengan yang lain. Pengetahuan sosial tidak
dapat dibentuk dari suatu tindakan seseorang terhadap suatu objek, tetapi
dibentuk dari interaksi seseorang dengan orang lain.
Prinsip konstruktivisme adalah inti dari filsafat
pendidikan William James dan John Dewey. Konstruktivisme menekankan agar
individu secara aktif menyusun dan membangun (to construct) pengetahuan dan
pemahaman. Menurut pandangan konstruktivis, guru bukan sekedar memberi
informasi ke pikiran anak, akan tetapi guru harus mendorong anak untuk
mengekplorasi dunia mereka, menemukan pengetahuan, merenung, dan berpikir
secara kritis Brooks & Brooks (dalam Santrock, 2007: 8).
Menurut I Nyoman Degeng (1998: 27) konstruktivistik
berangkat dari pengakuan bahwa orang belajar harus bebas. Hanya di alam yang
penuh dengan kebabasan si belajar dapat mengungkap makna yang berbeda dari
hasil interpretasinya terhadap segala sesuatu yang ada di dunia nyata.
Kebebasan menjadi unsur esensial dalam lingkungan belajar.
Pengetahuan sebagai proses dinyatakan oleh Piaget
(dalam Gredler, 1991: 309) bahwa dalam penciptaan pengetahuan, individu dan
objek luluh menjadi satu dan tidak dapat dipisahkan. Pengetahuan juga
mengandung banyak komponen subjektif; maka dari itu, pengetahuan itu suatu
hubungan dan bukan ketentuan apriori.
Lev Vygotsky yang dikenal kontruktivisme sosial
mengatakan bahwa belajar adalah mendapatkan pengetahuan melalui pengalaman,
interaksi sosial dan lingkungan (dalam Martinis Yamin, 2013: 26). Arends (2008:
47) menyebutkan bahwa teori-teori konstruktivis tentang belajar, yang menekankan
pada kebutuhan pelajar untuk menginvestigasi lingkungannya dan mengonstruksikan
pengetahuan yang secara personal berarti, memberikan dasar teoretis untuk PBL.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa konstruktivisme
dalam pendidikan berpandangan bahwa pengetahuan merupakan pembentukan
(konstruksi) atas pemaknaan atau penafsiran dunia nyata dan ia terus berkembang
dan berubah. Pengetahuan muncul dari suatu kebudayaan dan berbeda antara satu
dan lainnya, kemudian pengetahuan bukanlah tercipta dari tindakan terhadap
suatu objek tapi terbentuk dari interaksi sosial dan lingkungan.
Perkembangan pemikiran dari waktu ke waktu terus
mengalami perubahan dalam berbagai hal, tentunya hal itu tidak lepas dari
keinginan manusia yang selalu menginginkan sebuah perubahan karena bertambahnya
persoalan dan juga kebutuhan. Kalau kita kembali pada masa terdahulu tentunya
tidak mengherankan lagi terhadap sebuah perkembangan dalam berbagai ranah
kehidupan, terlebih lagi dalam soal keilmuan. Kehidupan terus berputar dan
berkembang seiring dengan semakin bertambahnya manusia sehingga melahirkan
pemikiran dan terus berupaya untuk mengembangkan kehidupannya dalam berbagai
hal.
Demikian juga dalam hal ilmu pengetahuan tentunya
selalu mengalami perkembangan dari tahun ketahun ataupun dari abadkeabad.
Karena sifat dari manusia yang memang selalu tidak merasa puas terlebih dalam
hal keilmuan. Akibat dari hasil pemikiran yang telah ada, mereka akan berfikir
untuk dapat mengembangkan bahkan melakukan sebuah pengujian ulang terhadap
hasil penemuan yang telah lalu. Misalkan dalam bidang filsafat kita mengenal
yang namanya Anaximander (610-546 SM) yang mengatakan bahwa substansi asal itu
bukan air. Berbeda dengan filosof sebelumnya Thales (624-545 SM) mengatakan
bahwa zat pertama dan utama terbentuknya sesuatu itu adalaha air (Maksum, 2012:
44-45). Dan seterusnya mengalami perubahan dan perkembangan tentunya dalam
rangka untuk menuju pada suatu yang lebih sempurna seiring dengan perkembangan
dan kemajuan pemikiran manusia. ohan
Setiawan dan Ajat Sudrajat 27
Sama halnya
dengan postmodernisme yang muncul diakibatkan karena kegagalan Modernisme dalam
mengangkat martabat manusia. Bagi postmodernisme, paham modernisme selama ini
telah gagal dalam menepati janjinya untuk membawa kehidupan manusia menjadi
lebih baik dan tidak adanya kekerasan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi masa modernisme membawa kehancuran bagi manusia, peperangan terjadi
dimana-mana yang hal ini mengakibatkan manusia hidup dalam menderita. Pandangan
modernisme menganggap bahwa kebenaran ilmu pengetahuan harus mutlak serta
objektif, tidak adanya nilai dari manusia. Di sinilah muncul suatu paham
postmodernisme yang merupakan kelanjutan, keterputusan, dan koreksi dari
modernisme untuk memberikan suatu pemikiran baru dan solusi dalam menjalani
kehidupan yang semakin kompleks ini. Bagi postmodernisme ilmu pengetahuan
tidaklah objektif tetapi subjektif dan interpretasi dari manusia itu sendiri,
sehingga kebenarannya adalah relatif.
Dalam penulisan ini penulis akan membahas secara fokus
dan rinci terhadap paham postmodernisme yang merupakan pengembangan pemikiran
tentang ilmu pengetahuan, yang merupakan pergeseran, perkembangan bahkan
kelanjutan dari modernisme itu sendiri. Tentunya hal ini akibat dari pergolakan
pemikiran dari para pemikir yang peduli terhadap ilmu pengetahuan, sehingga
memunculkan suatu pemikiran baru
Pembahasan
Jean-Francois Lyotard adalah orang yang memperkenalkan
postmodernisme dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan di tahun 1970-an
dalam bukunya yang berjudul “The Postmodern Condition: A Report on Knowledge”.
Dia mengartikan postmodernisme sebagai segala kritik atas pengetahuan
universal, atas tradisi metafisik, fondasionalisme maupun atas modernisme
(Maksum, 2014: 305-306). Menurut
beberapa para ahli yang lainnya, seperti Louis Leahy, postmodernisme adalah
suatu pergerakan ide yang menggantikan ideide zaman modern (Leahy, 1985: 271).
Menurut Emanuel, postmodernisme adalah keseluruhan usaha yang bermaksud
merevisi kembali paradigma modern (Emanuel, 2006: 93).
Sedangkan menurut Ghazali dan Effendi, postmodernisme
mengoreksi modernisme yang tidak terkendali yang telah muncul sebelumnya
(Ghazali & Effendi, 2009: 161). Maka dapat disimpulkan bahwa postmodernisme
merupakan suatu ide baru yang menolak atau pun yang termasuk dari pengembangan
suatu ide yang telah ada tentang teori pemikiran masa sebelumnya yaitu paham
modernisme yang mencoba untuk memberikan kritikan-kritikan terhadap modernisme
yang dianggap telah gagal dan bertanggung jawab terhadap kehancuran martabat
manusia; ia merupakan pergeseran ilmu pengetahuan dari ide-ide modern menuju
pada suatu ide yang baru yang dibawa oleh postmodernisme itu sendiri.
Munculnya postmodernisme tidak dapat dilepaskan dari
modernisme itu sendiri. Kata modernisme mengandung makna serba maju, gemerlap,
dan progresif. Modernisme selalu menjanjikan pada kita untuk membawa pada
perubahan ke dunia yang lebih mapan di mana semua kebutuhan akan dapat
terpenuhi. Rasionalitas akan membantu kita menghadapi mitos-mitos dan
keyakinan-keyakinan tradisional yang tak berdasar, yang membuat manusia tak
berdaya dalam menghadapi dunia ini (Maksum, 2014: 309). Namun demikian,
modernisme memiliki sisi gelap yang menyebabkan kehidupan manusia kehilangan
diorientasi.
Apa yang
dikatakan oleh Max Horkheimer, Ardono, dan Herbert Marcuse bahwa pencerahan
tersebut melahirkan sebuah penindasan dan dominasi disamping juga melahirkan
kemajuan. Modernisme, menurut Anthony Giddens, menimbulkan berkembangbiaknya
petaka bagi umat manusia. Pertama, penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan
sengketa. Kedua, penindasan oleh yang kuat atas yang lemah. Ketiga, ketimpangan
sosial yang kian parah. Keempat, kerusakan hidup yang kian menghawatirkan
(Maksum, 2014: 311).
Tumbangnya modernisme dan munculnya postmodernisme
dapat kita ketahui dari pemikiran filsafatnya Soren Kierkegaard (1813-1855),
sebagaimana dikutip oleh Ali Maksum, yang menentang rekonstruksirekonstruksi
rasional dan masuk akal yang menentukan keabsahan kebenaran ilmu. Sesuatu itu
dikatakan benar ketika sesuai dengan konsensus atau aturan yang berlaku di
dunia modern, yaitu rasional dan objektif. Namun tidak dengan Kierkegaard, dia
berpendapat bahwa kebenaran itu bersifat subjektif (Ghazali & Effendi,
2009: 314).
Truth is subjectivity, artinya bahwa pendapat tentang
kebenaran subjektif itu menekankan pentingnya pengalaman yang dialami oleh
seorang individu yang dianggapnya relatif. Gejala Postmodernisme yang merambah
ke berbagai bidang kehidupan tersebut yang didalamnya termasuk ilmu pengetahuan
merupakan suatu reaksi terhadap gerakan modernisme yang dinilainya mengalami
kegagalan. Modernisme yang berkembang dengan ditandai oleh adanya rasionalisme,
materialisme, dan kapitalisme yang didukung dengan perkembangan teknologi serta
sains menimbulkan disorientasi moral keagamaan dengan runtuhnya martabat
manusia (Kalean, 2002: 298).
Atas latar belakang itulah, para tokoh dan pemikir
postmodernisme menghadirkan sebuah gagasan baru yang disebut dengan
postmodernisme dalam rangka melakukan dekonstruksi paradigma terhadap berbagai
bidang keilmuan, sebagai sebuah upaya untuk mengoreksi atau membuat dan bahkan menemukan
paradigma yang baru. Postmodernisme seperti yang dikatakan oleh Derrida dan
Lyotard, merupakan anti tesis dari modernisme. Hampir semua istilah yang
diajukan oleh postmodernisme adalah antonimasi modernisme. Kelahiran
postmodernisme membuat istilah baru dan mengakibatkan perbedaan dengan paham
modernisme.
Dua karya yang menjadikannya terkenal baik di Perancis
maupun diluar negeri yaitu The Postmodernisme Condition dan The Differend.
Karyanya itu juga baik sesuatu ataupun seseorang yang ditolak bersuara terhadap
sistem ideologis yang dominan yang menentukan sesuatu yang dapat diterima dan
tidak dapat diterima (Zaprulkhan, 2006: 320).
Pemikiran Lyotard tentang ilmu pengetahuan dari
pandangan modernisme yang sebagai narasi besar seperti kebebasan, kemajuan, dan
sebagainya kini menurutnya mengalami permasalahan yang sama seperti abad
pertengahan yang memunculkan istilah religi, nasional kebangsaan, dan
kepercayaan terhadap keunggulan negara eropa untuk saat ini tidak dapat
dipercaya atau kurang tepat kebenarannya. Maka, postmodernisme menganggap
sesuatu ilmu tidak harus langsung diterima kebenarannya harus diselidiki dan
dibuktikan (Johan Setiawan dan Ajat Sudrajat: 31) terlebih dahulu.
Bagi Lyotard, ilmu pengetahuan postmodernisme bukanlah
semata-mata menjadi alat penguasa, ilmu pengetahuan postmodern memperluas
kepekaan kita terhadap pandangan yang berbeda dan memperkuat kemampuan kita
untuk bertoleransi atas pendirian yang tak mau dibandingkan (Maksum, 2014:
319-321). Kedua, Michel Foucault, adalah seorang tokoh postmodernisme yang
menolak keuniversalan pengetahuan. Ada beberapa asumsi pemikiran pencerahan
yang ditolak oleh Foucault yaitu: 1) Pengetahuan itu tidak ersifat metafisis,
transendental, atau universal, tetapi khas untuk setiap waktu dan tempat 2)
Tidak ada pengetahuan yang mampu menangkap katakter objektif dunia, tetapi
pengetahuan itu selalu mengambil perspektif. 3) Pengetahuan tidak dilihat
sebagai pemahaman yang netral dan murni, tetapi selalu terikat dengan
rezim-rezim penguasa (Maksum, 2014: 322).
Namun demikian, menurut Foucault, tidak ada perpisahan
yang jelas, pasti, dan final antara pemikiran pencerahan dan pasca-modern, atau
antara modern dan pasca-modern. Paradigma modern, kesadaran, dan objektivitas
adalah dua unsur membentuk rasionalotonom, sedangkan bagi Foucault pengetahuan
bersifat subjektif. Ketiga, Jacques Derrida. Membahas filsuf yang satu ini
tidak akan lepas dari buah pikirannya tentang dekonstruksi. Istilah ini
merupakan salah satu konsep kunci postmodernisme. Apa itu dekonstruksi? secara
etimologis, dekonstruksi adalah berarti mengurai, melepaskan, dan membuka
(Maksum, 2014: 331). Derrida
menciptakan sebuah pemikiran dekonstruksi, yang merupakan salah satu kunci
pemikiran postmodernisme, yang mencoba memberikan sumbangan mengenai
teori-teori pengetahuan yang dinilai sangat kaku dan kebenarannya tidak bisa
dibantah, yang dalam hal ini pemikiran modernisme. Derrida mencoba untuk
meneliti kebenaran terhadap suatu teori pengetahuan yang baginya bisa dibantah
kebenarannya yang dalam arti bisa membuat teori baru asalkan hal tersebut dapat
terbukti kebenarannya dan dipertanggungjawabkan. (Jurnal Filsafat, Vol. 28, No.
1, Februari 2018)
Keempat, Jean Baudrillard; pemikirannya memusatkan
perhatian kepada kultur, yang dilihatnya mengalami revolusi besar-besaran dan
merupakan bencana besar. Revolusi kultural itu menyebabkan massa menjadi
semakin pasif ketimbang semakin berontak seperti yang diperkirakan pemikir
marxis. Dengan demikian, massa dilihat sebagai lubang hitam yang menyerap semua
makna, informasi, komunikasi, pesan dan sebagainya, menjadi tidak bermakna.
Massa menempuh jalan mereka sendiri, tak mengindahkan upaya yang bertujuan
memanipulasi mereka. Kekacauan, apatis, dan kelebaman ini merupakan istilah
yang tepat untuk melukiskan kejenuhan massa terhadap tanda media, simulasi, dan
hiperealitas (Maksum, 2014: 338).
Bagi Jean Baudrillard, karya-karyanya mempunyai
sumbangan terhadap pemikiran teori sosial untuk postmodernisme yang baginya
bahwa objek konsumsi merupakan tatanan produksi. Sehingga baginya masyarakat
hidup dalam simulasi yang dicirikan dengan ketidakbermaknaan. Karena manusia
kehilangan identitasnya dan jati dirinya
yang banyak terjadi pada masa kontenporer. Tokoh inilah yang terkenal
dengan menyebut dunia postmodernisme sebagai kehidupan yang Hiperealitas.
Kelima, Fedrick Jameson. Ia merupakan salah satu kritikus literatur berhaluan
marxis paling terkemuka. George Ritzer dalam Postmodern Social Theori,
menempatkan Jameson dengan Daniel Bell, kaum feminis dan teoritis multikultur.
Jameson menggunakan pola berfikir Marxis untuk menjelaskan epos historis yang
baru (postmodernisme), yang baginya bukan modification dari kapitalisme,
melainkan ekspansi darinya.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa periode historis
yang ada sekarang bukanlah keterputusan, melainkan kelanjutannya (Maksum, 2014:
339). Menurut Jameson, postmodernisme
memiliki dua ciri utama, yaitu pastiche dan schizofrenia. Jameson mulai dengan
menjelaskan bahwa modernisme besar didasarkan pada gaya yang personal atau
pribadi. Subjek individual borjois tidak hanya merupakan subjek masa lalu, tapi
juga mitos subjek yang tidak pernah benar-benar ada, hanya mistifikasi, kata
Jameson, yang tersisa adalah pastiche. Pastiche dari pastiche, tiruan gaya yang
telah mati. Kita telah kehilangan kemampuan memposisikan ini secara historis.
Postmodernisme
Runtuhnya
narasi besar (grand narasi)
Meskipun pada tahun 1950 dan 1960 ia adalah aktivis politik dengan
pandangan-pandangan Marxis namun, pada tahun 1980an Lyotard menjadi seorang
filosof postmodernisme non-Marxis. Oleh karena itu, postmodernisme menjadi
sebuah keterlepasan mendasar dari pemikiran totaliter yang diwakili oleh
Marxisme. Sebelum terbitnya buku The Differend : Phrases in Dispute, Lyotard
sudah menunjukkan arah perubahan filosofis ini.Pada tahun 1954 terbit buku
pertama Lyotard yang berjudul La Phenomenologie yang merupakan buku pengantar
dalam memahami fenomenologi Husserl. Meskipun ia pengikut kelompok Marxis akan
tetapi ia selalu kritis dan menolak interpretasi dogmatis terhadap pemikiran
Marx seperti yang dilakukan Stalinisme, Trotskyisme, dan Maoisme.
Dua belas tahun
kemudian setelah terbit buku pertamanya tersebut yakni tahun 1966, ia resmi
menyatakan keluar dari Marxis karena merasa kecewa dengan kegagalan gerakan
Marxis untuk membangun masyarakat sosialis yang adil sebagaimana
digembar-gemborkan selama ini. Sebaliknya, Marxisme berusaha menciptakan
masyarakat yang homogen yang hanya dapat diwujudkan dengan cara kekerasan dan
pelanggaran hak-hak azasi manusia. Lyotard sangat tidak setuju dengan
keseragaman atau upaya menyeragamkan apalagi upaya tersebut dicapai dengan
jalan kekerasan. Baginya, salah satu karakteristik masyarakat postmodern adalah
individualis dan kebebasan untuk berbeda dengan yang lain.
KELEBIHAN DAN KELEMAHAN POSTMODERNISME
Kelebihan
postmodernisme antara lain bahwa perspektif postmodernisme dapat membuat kita
peka terhadap kemungkinan bahwa wacana besar positif, prinsip-prinsip etika
positif, dapat diputar dan dipakai untuk menindas manusia. Martabat manusia
harus dijunjung tinggi, seperti kebebasan adalah nilai tinggi, tetapi bisa saja
terjadi bahwa nama kebebasan sekelompok orang mau ditiadakan. Postmodernisme
ikut membuat kita sadar, sebuah kesadaran bahwa semua cerita besar perlu
dicurigai, perlu diwaspadai agar tidak menjelma rezim totalitarianisme yang
hanya mau mendengarkan suara diri sendiri dan mengharuskan suara-suara yang
berbeda dari luar (Zaprulkhan, 2006: 323-324).
Menurut Franz Dahler, postmodernisme memiliki segi
positif, yaitu keterbukaan untuk kebhinekaan masyarakat, untuk toleransi,
perlawanan terhadap monopoli, dominan agama, aliran dan ideologi tertentu,
hingga menguntungkan demokrasi (Jalaluddin, 2013: 67). Zaprulkhan menyatakan
bahwa setidaknya ada kelemahan yang ada pada postmodernisme, yang penulis rangkum
menjadi tiga poin utama, yaitu, pertama, postmodernisme yang sangat semangat
mempromosikan narasi-narasi kecil, ternyata buta terhadap kenyataan bahwa
banyak juga narasi kecil yang mengandung banyak kebusukan.
Katakanlah kaum
komunitarian yang membela tradisi-tradisi komunitas dikemukakan bahwa banyak
tradisi komunitas (Johan Setiawan dan Ajat Sudrajat 37 ) bertentangan tidak
hanya dengan suatu ide abstrak martabat manusia postmodernisme akan menolak
argumen itu, melainkan terhadap institusi-institusi moral mendalam
manusia. Kedua, postmodernisme tidak
membedakan antara ideologi, di satu pihak dan prinsip-prinsip universal etika
terbuka, di pihak lain. Dengan istilah-istilah kabur seperti cerita besar
mereka menutup perbedaan yang prinsipil itu. Yang mempermudah adalah pendekatan
ideologis dan bukan nilainilai dan prinsip-prinsip dasar moralitas yang
terbuka.
Dalam arti ideologi tertutup, memang bertentangan
dengan martabat manusia sebagai makluk yang bertindak berdasarkan kesadaran
akan baik dan buruk, yang sanggup untuk bertanggung jawab, karena ideologi
selalu menuntut ketaatan mutlak. Dan yang ketiga Postmodernisme menuntut untuk
menyingkirkan cerita-cerita besar demi cerita kecil atau lokal. Dengan kata
lain tuntutan postmodernisme kontradiktif, memaklumkan kepada umat manusia
bahwa maklumat-maklumat kepada umat manusia (cerita besar) harus ditolak sama
artinya dengan memaklumatkan bahwa maklumat itu sendiri tidak perlu dihiraukan (Zaprulkhan, 2006: 322-323).
KRITIK TERHADAP POSTMODERNISME
Habermas dalam bukunya, The Philosophical of
Modernity, mengkritik postmodernisme menyatakan bahwa asal-usul konsep
postmodernity itu sendiri harus diteliti. Habermas menyatakan ada kelemahan
mendasar pemikiran kaum postmodernis tentang modernitas yang dianggap
ahistoris. Para pemikir postmodernisme seakan-akan menghilangkan dimensi dan
cakrawala historis yang memunculkan postmodern itu.
Ali Maksum menyatakan bahwa kritik atas postmodernisme
antara lain: a) Pemikir postmodernisme kurang tegas apakah mereka menciptakan
teori atau mengarang sastra; b) Habermas merasa argumen para postmodernis sarat
dengan sentimen normatif, namun sentimen mereka itu disembunyikan dari pembaca,
Habermas mengemukakan sentimen normatifnya (kebebasan, keterbukaan, komunikasi)
yang dijadikan sumber kritiknya terhadap masyarakat serta menjadi basis bagi
praktis politiknya; c) Habermas mengkritik postmodernisme sebagai perspektif
yang gagal membedakan fenomena dan praktik yang terjadi pada masyarakat modern.
contohnya tentang pandangan dunia yang didominasi oleh kekuasaan dan pengawasan
tidak memberikan peluang yang cukup baik untuk melakukan analisis yang bermakna
atas sumber nyata penindasan dalam kehidupan modern; d) Pemikir postmodernisme
dituduh mengabaikan praktik kehidupan dunia. Kekeliruan ini merupakan kerugian
ganda bagi pemikir postmodernisme. Di satu sisi, mereka sumber penting
perkembangan standar normatif. Sedangkan disisi lain, mereka menjadikan
kehidupan dunia sebagai tujuan akhir karya ilmu sosial (Maksum, 2014: 340, 345-346).
PANDANGAN POSTMODERNISME TEHADAP ILMU PENGETAHUAN
Modernisme memandang ilmu-ilmu positif empiris atau
ilmu pengetahuan mau tidak mau menjadi standar kebenaran tertinggi. Artinya
pandangan modernisme yang objektif dan positivis. Mengakibatkan nilai moral dan
religious kehilangan wibawa. Maka timbul disorientasi moral-religius menuju
suatu kekerasan, keterasingan, dan disorientasi hidup (Norris, 2003: 312).
Penganut postmodernisme mengakui adanya suatu pendekatan dalam ilmu pengetahuan
yaitu secara pendekatan metodologis antara lain interpretasi anti obyektifitas
dan dekonstruksi. Postmodernisme dipahami sebagai interpretasi tak terbatas
(Soetriono & Hanafie, 2007: 31). Dengan demikian dalam pandangan
postmodernisme bahwa ilmu pengetahuan bersifat subjektif. Implikasinya adalah
bahwa tidak ada apa yang dinamakan ilmu bebas nilai. Sedangkan modernisme
menganggap ilmu pengetahuan yang objektif maka bebas dari nilai (Jalaluddin,
2013: 67). Sehingga penganut postmodernisme tidak mengakui akan adanya rasionalitas
universal, yang ada hanyalah relativitas dari eksistensi plural. Maka, dengan
demikian, perlu dirubah dari berfikir totalizing menjadi pluralistic and open
democracy dalam semua sendi kehidupan. Pandangan postmodernisme lebih
menekankan pluralitas, perbedaan, heterogenitas, budaya lokal/etnis, dan
engalaman hidup sehari-hari.
RELEVANSI DISCOURSE POSTMODERNISME DALAM ILMU
PENGETAHUAN
Bagi pemikiran postmodernisme, mereka tidak memandang
ilmu pengetahuan modern sebagai universalisme. Karena postmodernisme menolak
penjelasan yang berifat universal, harmonis, atau bahkan konsisten. Kaum
postmodernisme menggantikan hal tersebut kepada yang partikular dan lokal, lalu
menyingkirkan hal yang bersifat universal. Watak yang menonjol dari era
postmodernisme ini mengangkat konsep pluralisme, penekanan kepada konsepsi
empiris dalam arti penekanan pada nilai individualitas dari manusia sebagai
sang otonom.
Ciri-ciri dari
postmodernisme melingkupi hal-hal secara konseptual discourse ide yang
meliputi: 1) ide yang menghendaki penghargaan besar terhadap alam ini sebagai
kritik atas gerakan modernisme yang mengeksploitasi alam, 2) ide yang menekankan pentingnya bahasa dalam
kehidupan manusia dengan segala konsep dan analisanya yang kompleks, ini
sebagai antitesa atas kondisi modernisme atas kuasa tafsir oleh mesin birokrasi
ilmu pengetahuan, 3) ide besar untuk mengurangi kekaguman terhadap ilmu
pengetahuan, kapitalisme, dan teknologi yang muncul dari perkembangan
modernisme. Dengan alasan bahwa semua itu telah melahirkan konstruksi manusia
sebagai obyek yang mati dalam realitas kehidupannya. Sehingga menjauhkan
manusia dari humanismenya itu sendiri; 4) ide pentingnya inklusivitas dalam
menerima tantangan agama lain atas agama dominant sehingga terbuka munculnya
ruang dialogis. Ini muncul sebagai akibat menjamurnya dan tumbuhkembangnya
realitas modernis yang menempatkan ideologi sebagai alat pembenar masing-masing;
5) sikap yang cenderung permisive dan menerima
terhadap ideologi dan juga agama lain dengan berbagai penafsiran; 6)
secara kasuistik munculnya ide pergeseran dominasi kulit putih di dunia barat;
7) merupakan ideide cemerlang yang menjadi daya dorong kebangkitan golongan tertindas, seperti
golongan ras, gender, kelas minoritas secara sosial yang tersisihkan; 8) ide
tentang tumbuhnya kesadaran akan pentingnya interdependensi secara radikal dari
semua pihak dengan cara yang dapat dan memungkinkan terpikirkan oleh manusia
secara menyeluruh (Muhlisin, 2000: 6-7).
Ciri yang paling dominan dari pemikiran postmodernisme
diatas mengacu kepada ide dasar yang ingin mengurangi kekaguman serta memberi
kritik terhadap suatu ilmu pengetahuan. Hal ini dapat diartikan ia menunjukkan
adanya pergeseran yang cukup signifikan atas era modernitas ke era
postmodernisme. Cukup jelas bagi gerakan postmodernisme bahwa memahami fenomena
modern yang bernama pengetahuan, khususnya menyangkut pengetahuan sosial. Ia
mempertanyakan tentang ”apa itu pengetahuan yang benar” secara genealogis dan
arkeologis. Dapat diartikan dengan melacak bagaimana pengetahuan itu
mengembangkan diri selama ini. Misalnya konseptual tentang ”kegilaan”,
”seksualitas”, manusia”, ”gender” dan lain sebagainya yang biasa dianggap
”natural” itu sebenarnya adalah situs-situs produksi dari ilmu pengetahuan
(Muhlisin, 2000: 7).
RELEVANSI POSTMODERNISME BAGI KEHIDUPAN MASA KINI
Jika diamati dengan saksama, banyak hal menarik dan
bisa diterima dari apa yang ditawarkan oleh pasca-modernisme. Lepas dari sah
atau tidaknya keberadaan pasca-postmodernisme, kenyataannya dia ada dan
keberadaannya harus diakui. Soal membawa manfaat atau tidaknya, kita tidak bisa
menilai secara langsung dengan satu sisi saja, karena selalu ada dua sisi yaitu
apakah baik atau buruk. Kita bisa memeriksa dan menjelaskan apa yang telah
diterangkan diatas. Tentunya, pormodernisme telah menambah perbendaraan kita
mengenai ilmu pengetahuan. Maka dari itu, pada bagian ini, akan mencoba untuk
menganalisis secara kritis apa saja prinsip-prinsip yang ditawarkan oleh aliran
postmodernisme tersebut (Maksum, 2014: 352).
Pandangan
postmodernisme yang kelanjutan dari modernisme muncul karena menentang pendapat
dari modernisme yang mereka anggap memiliki kelemahan, bukan berarti bahwa
postmodernisme terlepas dari adanya kelemahan. Tampak penjelasan diatas dapat
peneliti sebutkan bahwa aliran postmodernisme ini muak dan lelah akan
metanarasi dari era modern, mereka beralasan bahwa metanarasi itu bisa
mengarahkan kita pada marginalisasi cerita-cerita kecil baik dari kehidupan
kita yang nyata di kehidupan sehari-hari maupun secara tradisi, kepercayaan
masyarakat dan komunitas setempat (Maksum, 2014: 352).
Paham Postmodernisme ini ingin menghilangkan
pendasaran umum dan ingin melihat cerita-cerita yang kecil. Ceritacerita kecil
seperti Desentralisasi, Pertarungan Etnis, Dekonstruksi, SubKultur, Nihilisme,
Budaya Rendah, Anarki, Pasca-Industri, Paradigma, Kekuatan Bersama,
Sekte-sekte, Delegitimasi, Dekonsensus, Liberalisme, dan Diskontinuitas yang
merupakan kebalikan atau antithesis dari paham modernisme. Hal itu karena
kurang masuk akal sebab untuk menilai atau menangkap suatu cerita (kerangka)
dasar diperlukan suatu dasar pijakan. Karena hal ini tanpa adanya kerangka atau
dasar pijakan tersebut kita tidak bisa bicara apa-apa. Selain itu kita tidak
hanya berpegang pada cerita-cerita lokal atau keyakinan setempat, sangat
sulitlah untuk mengambil keputusan dan yang terjadi adalah siapa yang kuat,
itulah yang akan menjadi pemenang (Maksum, 2014: 352).
Dengan kata
lain hal itu sudah terbukti bahwa jika kita menengok proses peradilan hukum di
Indonesia yang sering kali orang kecil menjadi korban hanya karena buta hukum
dan hukum itu ditafsirkan sesuai dengan keinginan pihak tertentu yang tentunya
mempunyai suatu power. Pada titik ini juga dikhawatirkan akan terjadi
kontradiksi. Manusia yang tidak memiliki kekuatan apapun atau istilah kata
sebagai rakyat jelata dihadapan hukum akan mengalami kekalahan, dibandingkan
dengan seseorang yang paham hukum dan memiliki kekuatan hukum.
Karena apabila pasca-modernisme menyangkal
prinsip-prinsip (metanarasi), maka dengan sendirinya akan muncul
prinsip-prinsip baru (narasi-narasi kecil) karena menyangkal prinsip berarti
juga berprinsip dan itulah kontradiksinya, seperti pernah dialami oleh kaum
skeptif itu sendiri mereka yakin bahwa pernyataan itu harusnya benar, padahal
dengan pernyataan tersebut berarti pernyataan kaum spektif bahwa semua
kenyakinan kita perlu diragukan juga tidak benar dan karena itu, jangan
berkeyakinan seperti itu (Maksum, 2014: 353).
Jika hal itu terjadi mengenai tidak menyakini suatu
pernyataan, maka kembali kepada kaum spektif yang setiap pernyataannya tidak
harus ditanggapi dengan kebenaran. Perkataan kaum spektif bisa dibantahkan
bahkan mereka setiap pendapatnya tidak dipercaya. Lalu apa yang harus
dilakukan, maka yang dilakukan perlu adanya dekonstruksi mengenai kebenaran.
Tetapi tidak semua dihilangkan bahkan dihapuskan. Tetapi jika ada kesalahan dan
kurang tepat maka bisa diperbaiki. Dekonstruksi tidak semua narasi-narasi besar
dilakukan, tetapi narasi yang dimana pantas untuk di dekonstruksikan.
Cerita-cerita besar itu sangat diperlukan, dan cerita besar itu cenderung
menjadi sebuah ideologi, itulah sebenarnya yang harus diwaspadai. Karena banyak
cerita-cerita besar atau paham-paham besar dapat membawa penderitaan bagi umat
manusia, misalnya sebagai contoh kita sebut saja paham komunisme. Paham
komunisme ini bisa membawa penderitaan kepada umat manusia yang mengikuti
ketentuannya.
Walaupun tujuannya segala sesuatu milik bersama, tidak
memiliki secara individu, tetapi paham ini dalam penerapannya menggunakan
pemaksaan dan kekerasan kepada para pengikutnya agar mengikuti dan mentaati
paham ini. Dan juga tidak jarang bahwa ideologi-ideologi religius justru
membawa kesengsaraan dan membelenggu umat manusia. Maka, di sinilah perlu
adanya dekonstruksi cerita besar sehingga diharapkan tidak menyeleweng dari
misinya yang sejak lama dibawanya (Maksum, 2014: 353). Pertanyaannya mengapa ideologi perlu
didekonstruksikan, sebab ia menyangkal hal cerita kecil, ideologi itu bersifat
mutlak. Benar berarti sesuai dengan ideologi, yang sesuai disikat abis, dengan
kebenaran ideologi tertentu, tidak segan-segan seseorang akan memusnakannya.
Padahal sesuatu
hal bagi postmodernisme tidak mutlak, mereka percaya bahwa kebenaran bersifat
relatif. Disesuaikan dengan segala aspek pengliatan, bukan hanya terfokus pada
sisi tertentu saja. Jadi, menurut peneliti maka dekonstruksi sangat dibutuhkan
dan perlu, tetapi untuk itu haruslah jeli dan butuh pemikiran yang cerdas untuk
mengawasi dan mengkritisi cerita atau narasi mana yang perlu direvisi atau
didekonstruksi. Pascamodernisme menjadi kurang cerdas jika kita menganggap
semua cerita besar itu perlu didekonstruksikan. Sayangnya pascamodernisme tidak
mampu melakukan hal seperti itu.
Dekonstruksi
yang sebenarnya, kata Frans Magniz-Suseno, adalah menganalisis dengan teliti.
Di sini cerita atau narasi yang besar itu benar, cerita tentang harkat martabat
kemanusiaan cerita bahwa situasi apapun tak pernah boleh untuk di pakai
semata-mata sebagai sebuah sarana, cerita hak-hak asasi manusia, justru malah
akan bertahan. Dengan melihat sisi negatif dari paham postmodernisme itu, maka
apakah dengan demikian postmodernisme harus di hapus atau dibuang. Tentu sisi
positifnya tetap ada, ia telah mengingatkan kepada kita bahwasanya dalam diri
kita harus waspada terhadap teori atau cerita atau narasi besar jangan sampai
mereka berkembang menjadi sebuah ideologi.
Jangan sampai ideologi tersebut berlindung dibalik
teori-teori besar tersebut. Tetapi kenyataannya bahwa dibalik itu semua ia
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi. Paham
postmodernisme tetap dapat dikembangkan dan dapat dipercaya asal ia tidak
memutlakkan prinsip dia sendiri dengan menghilangkan prinsip orang lain. Karena
segala sesuatu itu perlu diteliti atau bahkan dikoreksi dan dipertanyakan
apakah ia benar berjuang demi menegakkan martabat dan kebahagiaan manusia yang
lebih benar (Maksum, 2014: 354). Selain
pada itu, yang perlu kita kembangkan dan kita tegakan dari paham postmodernisme
adalah sikap saling menghargai manusia sebagai individu-individu dengan segala
keunikan dan keberagamanya yang meliputi kelemahan dan kelebihan adalah suatu
nilai lebih dan unik, hal itu membedakan kepada yang lainnya.
Bukan kita untuk mempermasalahkan keberagaman itu
tetapi bagaimana hal itu menjadi suatu kegembiraan dan kekhasan terhadap apa
yang dimiliki. Dengan menyadari hal tersebut lah, posrmodernisme memberikan
suatu hak untuk menyuarakan pendapatnya dan ia terus menjalankan sifat
emansipatorisnya. Jadi dengan demikian kita harus memegang kedua-duanya, yang
universal dan yang lokal, menghargai cerita atau teori atau narasi besar yang
memang memperjuangkan martabat manusia dan juga harus menghargai cerita-cerita
kecil seperti pluralisme dalam keanekaragaman itu sebagai anda penghargaan
manusia-manusia individu asal memperkembangkan individu tersebut, dengan
demikian kehidupan kita menjadi tercerahkan (Maksum, 2014: 354).
SIMPULAN
Jean-Fracois Lyotard adalah orang yang memperkenalkan
postmodernisme dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan di tahun 1970-an
dalam bukunya yang berjudul “The Postmodern Condition: A Report on Knowledge”.
Dia mengartikan postmodernisme sebagai segala kritik atas pengetahuan
universal, atas tradisi metafisik, fondasionalisme maupun atas modernisme.
Menurut Louis, postmodernisme adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan
ideide zaman modern Gejala postmodernisme yang merambah ke berbagai bidang
kehidupan tersebut yang didalamnya termasuk ilmu pengetahuan merupakan suatu
reaksi terhadap gerakan modernisme yang dinilainya mengalami kegagalan.
Modernisme yang berkembang dengan ditandai oleh
rasionalisme, materialisme, dan kapitalisme yang didukung oleh sains dan
teknologi mengakibatkan timbulnya disorientasi moral keagamaan (religius)
terutama runtuhnya martabat manusia. Tokoh-tokoh Postmodernisme antara lain
Jean-Francois Lyotard, Michael Foucault, Jacques Derrida, Jean Baudrillard, dan
Fedrick Jameson. Ciri-ciri pemikiran postmodernisme antara lain
Dekonstruktifisme, Relativisme, dan Pluralisme.
Teori sosial dalam Postmodernime terdapat beberapa
aliran yaitu : Postmodern Moderat, Postmodern Ekstrem, dan Posisi Teoritis.
Pandangan postmodernisme tehadap ilmu pengetahuan bahwa mereka tidak mengakui
akan adanya rasionalitas universal, objektif dalam pengetahuan. Yang ada
hanyalah relativitas dari eksistensi plural atau subjektivitas. Maka dengan
demikian perlu dirubah dari berfikir totalizing menjadi pluralistic and open
democracy dalam semua sendi kehidupan.
Kelebihannya postmodernisme dapat membuat kita peka
terhadap kemungkinan bahwa wacana besar positif, prinsip-prinsip etika positif,
dapat diputar dan dipakai untuk menindas manusia. Menurut Franz Dahler,
postmodernisme memiliki segi positif, yaitu keterbukaan untuk kebhinekaan
masyarakat, untuk toleransi, perlawanan terhadap monopoli, dominan agama,
aliran dan ideologi tertentu, hingga menguntungkan demokrasi.
Sedangkan kelemahan postmodernisme, pertama,
postmodernisme yang sangat semangat mempromosikan narasi-narasi kecil, ternyata
buta terhadap kenyataan bahwa banyak juga narasi kecil yang mengandung banyak
kebusukan. Kedua, postmodernisme tidak membedakan antara ideologi, di satu
pihak dan prinsip-prinsip universal etika terbuka, di pihak lain. Ketiga,
postmodernisme menuntut untuk menyingkirkan cerita-cerita besar demi cerita
kecil atau lokal. Kritik terhadap postmodernisme antara lain pemikir
postmodernisme kurang tegas terhadap membedakan apakah mereka menciptakan teori
atau mengarang sastra. Habermas merasa argumen para postmodernis sarat dengan
sentimen normatif.
Ciri discourse
postmodernisme dalam ilmu pengetahuan
memahami fenomena modern yang bernama pengetahuan. Ia mempertanyakan
tentang ”apa itu pengetahuan yang benar” secara genealogis dan arkeologis,
dalam arti, dengan melacak bagaimana pengetahuan itu mengembangkan diri selama
ini. Misalnya konseptual tentang ”kegilaan”, ”seksualitas”, manusia”, ”gender” dan
lain sebagainya yang biasa dianggap ”natural” itu sebenarnya adalah situs-situs
produksi dari ilmu pengetahuan.
Relevansi postmodernisme saat ini karena mereka bersikap saling
menghargai manusia sebagai individu-individu dengan segala keunikan yang ada
pada dirinya dan keberagamanya yang meliputi kelemahan dan kelebihan adalah
suatu nilai lebih dan unik, hal itu merupakan pembeda dengan yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, 2004, Falsafah Kalam di Era
Postmodernisme, Pustaka Pelajar, Yogjakarta. Aginta, Medhy Hidayat, 2008,
Panduan Pengantar Untuk Memahami Postrukturalisme dan Posmodernisme, Jalasutra
Post, Yogyakarta. Ghazali, Abd. Moqsith & Djohan Effendi,2009, Merayakan
kebebasan Beragama : Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi, Penerbit
Buku Kompas, Jakarta. Jalaluddin, 2013, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Rajawali
Pers, Jakarta. Kalean, 2002, Filsafat Bahasa, Paradigma, Yogyakarta. Leahy,
Louis, 1985, Manusia Sebuah Misteri Sintesa Filosofis Makhluk Paradoks,
Gramedia, Jakarta. Maksum, Ali, 2012, Pengantar Filsatfat, Ar-ruzz mmedia,
Jakarta. ______, 2014, Pengantar
Filsafat : Dari Masa Klasik hingga Posmodernisme, Ar-Ruzz Media,
Yogyakarta. Muhlisin, Postmodernisme
dan Kritik Ideologi Ilmu Pengetahuan Modern. Jurnal Okarra II. Vol 1 No 1 Tahun
2000. Norris, Chistopher, 2003,
Membonkar teori dekonstruksi Jacques Derrida Arruss, Yogyakarta. Piliang, Yasraf Amir, 2003, Hipersemiotika,
Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Jalasutra, Bandung. Ritzer, George R. dan Douglas J. Goodman,
2009, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir
Teori Sosial Postmodern, Kreasi Wacana,
Yogyakarta. _____, 2012, Teori Sosiolog, Kreasi Wacana, Yogyakarta. Soetriono
& Rita Hanafie, 2007, Filsafat Ilmu dan Metodologi penelitian. Andi,
Yogyakarta. Wora, Emanuel, 2006, Perenialisme: Kritik atas Modernisme dan
Postmodernisme, Kanisius, Yogyakarta. Zaprulkhan, 2016, Filsafat Ilmu: Sebuah
Analisis Kontenporer, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar