Rabu, 13 Maret 2019

Membaca Potensi diri


Literasi Fondasi Peradaban Dunia : Membaca Potensi Diri

Membaca merupakan salah satu keterampilan berbahasa dan salah satu kegiatan memahami dan mengambil makna dari suatu kata-kata, gagasan, ide, konsep dan informasi. Ketika kita membaca dalam teks bacaan yang kita baca terkandung makna yang tersirat (makna yang tersembunyi) dan tersurat (makna yang tertulis). Menurut konsep Islam membaca atau Iqra secara etimologis diambil dari akar kata qara’a yang berarti menghimpun, sehingga tidak selalu diartikan membaca sebuah teks yang tertulis dengan aksara tertentu. Selain bermakna menghimpun kata, qara’a juga memiliki sekumpulan makna menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu dan membaca baik teks tertulis maupun tidak.[1] 
Allah swt berfirman dalam Quran Surat Al Alaq 1-2 :
.اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ. خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ 
 "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah”.



Kita selaku manusia diarahkan untuk meneliti, memahami dan menyelami proses penciptaan dirinya, dan harus membaca sebagai kunci untuk menghimpun pengetahuan dan membaca seluruh potensi yang kita miliki agar dapat secara optimal kita pergunakan. Allah swt berfirman dalam Quran Surat Al Isra ayat 14 :

اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا


"Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu". (17: 14)
Dalam ayat tersebut kita diingatkan bahwa kita selaku manusia harus membaca dirinya, kita hidup tidak hanya di dunia tetapi di akhirat bahkan dalam Al Quran Surat Ad Dhuha ayat 4  dikatakan bahwa “  dan kehidupan akhirat lebih baik dan lebih utama”, Oleh karena itu kita selaku manusia akan berusaha mengoptimalkan semua potensi yang kita miliki  untuk apa, untuk beribadah kepada Allah semata sesuai firman Allah dalam Quran Surat Adz Dzariyat ayat 56 yang artinya berbunyi “ Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku.” (QS Adz dzariyat :56).
Tugas Pendidikan Islam memberikan dorongan ketika manusia berusaha menggunakan potensi baik yang dimilikinya untuk meminimalisir perbuatan negatifnya. Manusia secara fitrah ( asal kejadian ) memiliki stuktur bidimensial, yaitu dimensi jasmaniah dan dimensi rohaniah, ditinjau dari segi fisik biologis manusia telah mencapai kesempurnaan bentuk, tetapi dari segi rohaniah-spiritual dan moral manusia tidak pernah berakhir,[2] karena hidup merupakan suatu proses dan dalam proses tersebut akan selalu ada perubahan, melalui segi rohaniah-spiritual dan moralnya manusia akan mampu beradaptasi, mengontrol dan mengubahnya sesuai ketentuan Allah tentunya. Oleh karena itu maka dari segi rohaniah-spiritual dan moral yang dapat menjadi dasar potensi yan harus dikembangkan dalam proses pendidikan. Karena pada segi ini manusia memiliki potensi yang sangat luar biasa yang dapat dijadikan sumber pengembangan dirinya baik sebagai objek atau subjek dalam pengelolaan sebuah proses pendidikan.  
Pendidikan dalam arti luas adalah proses menuju kesempurnaan fungsi jasmani dan rohani manusia. Dalam bingkai pendidikan Islam maka kesempurnaan fungsi jasmani dan rohani manusia tersebut harus berdasarkan nilai-nilai Islam yaitu nilai yang bersumber dari Al Quran dan Hadis. Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam, Moh. Fadhil Al-Djamali berpendapat bahwa pendidikan Islam adalah proses yang mengarahkan manusia pada kehidupan yang baik. Dan mengangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajarnya (pengaruh dari luar).[3] Dengan adanya proses pendidikan manusia dapat memperoleh pengetahuan yang dapat menjadikan potensinya berkembang. Sehingga dapat dikatakan bahwa perkembangan potensi manusia tidak dapat dipisahkan dari proses berpengetahuan.
Potensi diri pada manusia merupakan kemampuan, kekuatan, baik yang belum terwujud maupun yang telah terwujud, yang dimiliki seseorang, tetapi belum sepenuhnya terlihat atau dipergunakan secara maksimal. Manusia memiliki potensi diri yang dapat dibedakan menjadi 5 macam, yaitu:[4]
a.      Potensi Fisik (Psychomotoric)
Potensi diri ini dapat diberdayakan sesuai fungsinya untuk saling membagi kepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Contohnya hidung untuk
mencium bau, tangan untuk menulis, kaki untuk berjalan, telinga untuk mendengar, dan mata untuk melihat.
b.      Potensi Mental Intelektual (Intellectual Quotient)
Potensi diri ini adalah potensi kecerdasan yang terdapat di otak manusia (terutama otak bagian kiri). Fungsi dari potensi ini yaitu untuk merencanakan sesuatu, menghitung dan menganalisis.
c.       Potensi Sosial Emosional (Emotional Quotient)
Potensi diri ini sama dengan potensi mental intelektual, tetapi potensi ini terdapat di otak manusia bagian kanan. Fungsinya yaitu untuk bertanggung jawab, mengendalikan amarah, motivasi, dan kesadaran diri.
d.      Potensi Mental Spiritual (Spiritual Quotient)
Potensi ini merupakan potensi kecerdasan yang berasal dari dalam diri manusia yang berhubungan dengan kesadaran jiwa, bukan hanya untuk mengetahui norma, tapi untuk menemukan norma.
e.       Potensi Daya Juang (Adversity Quetient)
Sama seperti potensi mental spiritual, potensi daya juang juga berasal dari dalam diri manusia dan berhubungan dengan keuletan, ketangguhan, dan daya juang yang tinggi.
Beberapa potensi manusia menurut Agama Islam yang diberikan oleh Allah SWT :[5]
a.       Potensi Akal
Manusia memiliki potensi akal yang dapat menyusun konsep-konsep, mencipta, mengembangkan, dan mengemukakan gagasan.
b.      Potensi Ruh
Manusia memiliki ruh. Banyak mendapat para ahli tentang ruh. Ada yang mengatakan bahwa ruh pada manusia adalah nyawa. Sementara sebagian yang lain mengalami ruh pada manusia sebagai dukungan dan peneguhan kekuatan batin.
c.       Potensi Qalbu
Qalbu disini tidak dimaknai sebagai hati yang ada pada manusia. 
d.      Potensi Fitrah
Manusia pada saat lahir memiliki potensi fitrah. Fitrah disini tidak dimaknai melulu sebagai sesuatu yang suci. Fitrah disini adalah bahwa sejak lahir fitrah manusia adalah membawa agama yang benar. Namun, kondisi fitrah ini berpotensi tercampur dengan yang lain dalam proses pembentukannya.
e.       Potensi Nafs
Dalam bahasa Indonesia, nafs diserap menjadi nafsu berarti ‘dorongan kuat berbuat kurang baik’. Sementara nafs yang ada pada manusia tidak hanya dorongan berbuat buruk, tetapi berpotensi berbuat baik. Dengan kata lain, nafs ini berpotensi positif dan negative.
                 Selaku praktisi pendidikan harus mengetahui dan memahami macam-macam potensi yang dimiliki oleh manusia, agar dapat membaca seluruh potensi yang dimiliki diri sendiri dan mengembangkannya ke arah yang positif, baik oleh para orang tua dirumah dalam mendidik diri mereka sendiri agar menjadi orang tua yang dapat memberi keteladanan bagi diri mereka dan anaknya serta dapat mengembangkan potensi anak mereka tanpa menafikan kelebihan dan kekurangan anak mereka. Untuk Para Pengawas sekolah dapat mengoptimalkan kompetensi yang diharapkan dan dapat memberikan pelayanan supervisi terbaik buat sekolah, kepala sekolah dan para guru. Untuk Para guru dapat mengoptimalkan kompetensi yang harus dimiliki seorang guru dalam memberikan pendidikan dan pengajaran yang optimal terhadap para peserta didik agar dalam proses pembelajaran tidak ada cap bodoh terhadap anak tetapi anak belum bisa melakukannya.
        Semua orang adalah guru bagi dirinya dan lingkungannya, bagi orang tua dirumah terhadap anaknya, apalagi guru yang berada di sekolah, guru harus mampu memahami kondisi-kondisi yang memungkinkan dirinya berbuat salah dan yang paling penting adalah mengendalikan diri sera menghindari dari kesalahan-kesalahan tersebut. Dari berbagai kajian menunjukkan bahwa ada 7 kesalahan yang sering dilakukan guru dalam pembelajaran adalah ; [6]   
1.  Mengajar tanpa persiapan, disamping merugikan guru sebagai tenaga profesional juga merugikan perkembangan peserta didik karena peserta didik pada umumnya memiliki taraf perkembangan dan potensi yang berbeda-beda sehingga menuntut metode dan media yang berbeda pula.
2.      Jangan menunggu peserta didik berperilaku negatif, jangan mengabaikan kepribadian mereka dan lupa memberikan pujian pada yang berbuat baik, guru perlu belajar untuk menangkap perilaku positif yang ditunjukkan oleh peserta didik dan menghargai mereka dengan perhatian dan pujian.
3.   Guru tidak mempunyai rencana tindakan yang benar ketika peserta didik melakukan kesalahan sehinggga penegakan disiplin bersifat deskrtuktif  bukan membangun sehingga penegakan disiplin kurang efektif dan merusak kepribadian serta harga diri peserta didik.
4.   Mengabaikan perbedaan individu peserta didik, adapun peserta didik yang perlu dipahami guru antara lain: kemampuan, potensi, minat, kebiasaan, hobi,sikap, kepribadian, hasil belajar, catatan kesehatan, latar belakang keluarga dan kegiatan di sekolah, dengan memahami ciri-ciri peserta didik guru dapat mengembangkan dan mengarahkan ke arah yang lebih baik.
5.     Guru merasa paling pandai di kelasnya, seharusnya guru menjadi pembelajar sepanjang hayat yang senantiasa menyesuaikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya sesuai perkembangan di masyarakat.
6.      Guru tidak adil dalam memberikan penilaian sehingga merugikan perkembangan peserta didik, seharusnya guru dapat memberikan pembelajaran yang baik dan efektif yang mampu memeberikan kemudahan belajar secara adil dan merata.
7.      Memaksa hak peserta didik merupakan kesalahan yang dilakukan ketika guru berbisnis dalam pembelajaran.   
Semua potensi tersebut adalah modal utama bagi kita pendidik untuk melaksanakan tugas dan memikul tanggung jawabnya. Oleh karena itu harus kita olah dan dayagunakan dengan sebaik-baiknya.








Daftar Pustaka

Khan,Achmad warid, 2002,  Membebaskan Pendidikan Islam ,Yogyakarta:     Institut Tafsir Wacana. 
M Arifin, 2007, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
http://munierzero.blogspot.co.id, makalah-tafsir-tarbawi-potensi-manusia.

E.Mulyasa, 2011, Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, Bandung: PT Remaja Rosda Karya.






[2] Achmad warid khan, Membebaskan Pendidikan Islam ( Yogyakarta: Institut Tafsir Wacana,  
  2002), hal. 48.
[3] M Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hal
[4] http://munierzero.blogspot.co.id, makalah-tafsir-tarbawi-potensi-manusia.
5] ibid
[6] E.Mulyasa,Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan
  (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2011), hal 20-30.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar